Presiden Joko Widodo telah memerintahkan peninjauan Undang-Undang yang bertujuan untuk membersihkan Ruang Digital Indonesia, di tengah banyaknya Keluhan yang digunakan untuk menyerang Gagasan kebebasan. Peninjauan Undang-Undang ITE Di Indonesia, UU Informasi dan Transaksi Elektronik disahkan pada Tahun 2008, dan telah diperiksa ulang pada Tahun 2016. Tetapi para Anggota Organisasi Politik mengatakan ada beberapa perjanjian yang Ragu, dan Rentan terhadap penyalahgunaan. Terutama keraguan Fitnah, perkataan, kebencian, dan Sumber Materi Online yang tidak benar.
Bulan lalu, Presiden Widodo memerintahkan Kapolri untuk menyusun Pedoman yang jelas tentang penegakan Hukum, dan memberi Isyarat bahwa ketentuan yang bermasalah di dalam Undang-Undang harus diperbaiki. Presiden Widodo mengatakan saat pertemuannya dengan Pejabat Tinggi Polisi, dan Militer bahwa Belakangan ini mereka telah melihat banyak orang mengajukan Laporan terhadap satu sama lain, mereka juga mempunyai Referensi Hukum, termasuk UU ITE.
Presiden memahami bahwa semangat UU ITE adalah untuk menjaga Ruang Digital Indonesia untuk membuatnya tetap bersih, sehat, beradab, dan Produktif. Tetapi Presiden menginginkan penerapan yang tidak menimbulkan rasa ketidakadilan. Kasus yang melibatkan Mantan Wakil Menteri Luar Negeri, Dino Patti Djalal, membuat ITE kembali menjadi Pandangan Publik.
Djalal melaporkan seorang pria ke Polisi setelah nama pemilik pada Akta ibunya telah diubah ke Tiga Rumah, meskipun Pelaku tidak menjualnya. Tidak senang dengan penanganan kasus yang lambat oleh Polisi, Djalal memperlihatkan lewat Twitter untuk mengidentifikasi orang yang dia yakini berada di balik dugaan penipuan. Seorang pria yang terdaftar sebagai pemilik baru setidaknya dari satu rumah, Djalal mengatakan dia mengetahui hal tersebut karena Polisi telah menginterogasi pria itu sebagai bagian dari Investigasi penipuan terpisah pada Bulan November, tetapi Polisi membebaskannya tak lama kemudian, meskipun tiga orang yang diduga Bekerja untuknya masih ditahan.
Dengan menggunakan Undang-Undang ITE, Pria itu kemudian dua kali melaporkan Djalal kembali ke Polisi, menuduhnya melakukan pencemaran nama baik, tetapi akhirnya Polisi menetapkannya sebagai Tersangka, dan ditahan atas dugaan penipuan. Mantan Duta Besar untuk Amerika Serikat, Djalal mengatakan dalam video Instagramnya, Pria tersebut membuat kesalahan besar dalam menuduhnya kembali, tetapi Djalal akan melakukan apa saja untuk melawan mereka.
Walalupun Mantan Diplomat itu masih memiliki akses ke Pejabat Tinggi, Polisi juga bergerak cepat untuk menyelidiki dugaan penipuan dan pencemaran nama baik. Koneksi Djalal mungkin telah membantunya dalam banyak Kasus lain, tetapi Aparat Penegak Hukum telah bertindak lebih cepat dalam menanggapi pencemaran nama baik dan pengaduan bermasalah lainnya.
Dugaan kejahatan yang memicu gugatan balik tersebut, Kejadian itu kembali memperkuat Pepatah lama Indonesia bahwa Hukum Tajam ke bawah, Tumpul ke atas, di mana kepolisian dipandang sebagai salah satu Lembaga Publik yang paling Korup. Seperti yang dilihat banyak orang Kasus yang termasuk Pelanggaran Hukum ITE yang sangat mengerikan, Baiq Nuril seorang Guru Sekolah dari Provinsi Nusa Tenggara Barat, sering mengalami Panggilan Telepon Seksual yang tidak Sopan dari Kepala Sekolah.
Setelah Nuril merekam satu percakapan, dan seorang rekan mempostingnya secara Online, kemudian Nuril dipecat dari Sekolah dan dilaporkan ke polisi. tetapi Pengadilan Negeri membebaskan Nuril, karena Mahkamah Agung memutuskan dia bersalah telah menyebarkan Materi yang tidak baik, Dia dipenjara selama 6 Bulan dan diperintahkan untuk membayar Denda sebesar 500 Juta.
Pada Juli 2019 Presiden Widodo memberikan pernyataan kepada Nuril bahwa Upaya Hukum Terpidana ditolak menyusul adanya Protes Publik, Sementara Kasus Pelecehan Seksual yang dia ajukan terhadap mantan bosnya tampaknya tidak Proses lebih lanjut. Nuril mengatakan dalam Webinar Bulan lalu, Dia tidak tahu harus pergi ke mana saat itu, tidak tahu dengan siapa dia berbicara tentang masalah yang di alaminya.
Mungkin perlu Perjuangan Keras untuk membuktikan bahwa Nuril benar-benar tidak bersalah, Nuril sangat berharap Undang-Undang itu direvisi ulang sehingga tidak ada yang harus menderita lagi seperti dirinya. Tahun lalu, seorang Dosen PTN di Provinsi Aceh divonis 3 Bulan Penjara karena menuduh di Grup WhatsApp bahwa Pengurus fakultasnya Korup setelah menyeleksi Pegawai Baru.
Seorang Jurnalis di Provinsi Kalimantan Selatan juga mendapat Hukuman 3 Bulan setelah menulis Artikel tentang Sengketa Tanah antara Warga Desa, dan Perusahaan Kelapa Sawit. Kedua terdakwa dituduh melakukan Pencemaran nama baik berdasarkan UU ITE. Para Aktivis mengatakan Hukuman itu terlalu keras, Undang-Undang ITE diajukan 119 kali Tahun lalu dalam Kasus-Kasus yang melibatkan pelanggaran kebebasan berbicara.
Menurut Pengawas Hak Asasi Manusia Amnesty International, meskipun kebebasan berekspresi dijamin oleh Konstitusi Indonesia. Sebanyak 141 Orang telah ditetapkan sebagai Tersangka dalam Kasus tersebut, termasuk 18 Aktivis dan 4 Jurnalis. Amnesty mengatakan Banyak yang didakwa setelah mengkritik kebijakan Pemerintah, Jumlah Kasus Tahun lalu meningkat dari 78 Kasus pada Tahun 2019.
Mungkin karena Sebagian Orang banyak yang mencerminkan Media Sosial semakin populer di Indonesia. Pada Bulan September, Survey yang dilakukan oleh jajak, Pendapat Indikator Politik Indonesia menunjukkan, bahwa Undang-undang ITE dipandang berkontribusi pada memburuknya Demokrasi di Indonesia, Sekitar 70% Responden khawatir untuk mengungkapkan pendapat mereka di depan umum.
Dirilis pada Bulan lalu, Indonesia menempati peringkat 64 dalam Indeks Demokrasi terbaru dari Economist Intelligence Unit, dan dianggap sebagai Demokrasi yang kekurangan. Ketentuan tersendiri yang Elastis dalam Undang-Undang ITE telah terbukti digunakan, terutama oleh orang-orang yang berkuasa, Penguasa, Pengusaha atau Pejabat Publik. Sekelompok Gabungan Hak Asasi dan LSM lain berkata dalam pernyataan bersama, bahwa Ketentuan tersendiri jelas bermasalah dan digunakan untuk menghukum banyak Jurnalis, Aktivis Hak Asasi Manusia, dan Akademisi, karena telah mengungkapkan pemikiran mereka.
Pada 19 Februari, Kapolri Menanggapi arahan Presiden Widodo, dan mengeluarkan Pedoman bagi penyidik ​​yang menangani kasus ITE. Mereka telah diberitahu untuk memprioritaskan Persuasi, dan Mediasi untuk menggunakan dakwaan Hukum sebagai Pilihan Terakhir. kecuali dalam Kasus-Kasus yang melibatkan Diskriminasi, Radikalisme, Separatisme atau Kasus yang berpotensi memecah belah Bangsa.
Kementerian Komunikasi mengumumkan pembentukan Komite Etik Net memberikan upaya untuk Aktif di Internet, sementara Menteri Utama Keamanan mengatakan sebuah Tim akan mempelajari selama 2 Bulan ke depan, apakah Revisi Undang-Undang diperlukan. Tetapi Kelompok LSM mengamati kurangnya keterlibatan Pihak Independen, sehingga menimbulkan keraguan atas Komitmen Pemerintah untuk memperbaiki pelaksanaan Undang-Undang tersebut.