Pada Tahun 2020, Pemerintah dengan berbagai kebijakannya juga melarang pembukaan Hutan. Para Ahli mengaitkan hal tersebut dengan hujan, penurunan Harga Kelapa Sawit, dan perlambatan Ekonomi sebagai akibat dari Pandemi COVID-19. Penebangan Hutan Mencapai Titik Terendah, saat Indonesia kehilangan 115.459 Hektar dari 285.300 Hektar Hutan yang setara dengan luas Los Angeles, Hasil itu turun sebanyak 75% dari Tahun 2019. Belinda Arunarwati Margono, Direktur Pemantauan Sumber Daya Hutan Kementerian, sering mengatakan bahwa Laju Deforestasi mereka mencapai Jutaan Hektar, tetapi pada Tahun 2020, Hasil dari Penebangan Hutan cukup luar biasa bagi mereka karena itu adalah Angka Deforestasi terendah yang pernah mereka capai.
Angka Pemerintah menunjukkan bahwa Negara juga berhasil mempertahankan Total tutupan hutannya sedikit sekitar 50,9% dari Total luas daratannya, pada 95,6 Juta Hektar. Luas tersebut dua kali lipat lebih luas dari California. Kementerian kehutanan yang melacak laju Deforestasi tahunan sejak Tahun 1990, mengaitkan penurunan Tahun lalu tersebut dengan Puncak dari sejumlah Kebijakan yang bertujuan melindungi Hutan Negara.
Hal itu termasuk larangan Permanen untuk mengeluarkan izin baru dalam membuka Hutan Primer, dan Lahan Gambut, Penundaan izin perkebunan Kelapa Sawit yang baru, Upaya mengurangi kebakaran Hutan, Program perhutanan Sosial, Rehabilitasi Tanah, dan Peningkatan Penegakan Hukum terhadap pelanggaran lingkungan. Ruandha Agung Suhardiman, Direktur Jenderal Perencanaan Kementerian, mengatakan Penurunan Deforestasi itu menunjukkan bahwa berbagai upaya yang dilakukan kementerian Lingkungan Hidup, dan Kehutanan akhir-akhir ini telah membuahkan hasil, dan dampak mereka terhadap pengurangan Deforestasi sangatlah besar.
Arief Wijaya, Manajer Senior Iklim, dan Hutan di World Resources Institute (WRI) Indonesia, setuju bahwa Kebijakan itu dapat berdampak Positif pada Laju Deforestasi, dan upaya Pemerintah harus diapresiasi. Arief juga mengatakan Faktor lain, seperti Ekonomi dan Cuaca yang mungkin ikut berkontribusi terhadap penurunan tersebut, Salah satunya musim hujan di Tahun 2020 yang lebih dari biasanya karena Sistem Cuaca La Nina.
Dampak dari Cuaca tersebut, membuat Kebakaran menurun menjadi 296.000 Hektar dari 731.400 Hektar Lahan, dan penggundulan Hutan dari kebakaran yang hanya 1.100 Hektar. Arief juga menunjuk penurunan Harga Minyak Sawit Global sejak Tahun 2013, yang menyebabkan perlambatan perluasan Wilayah Industri. Sejak 2013 Harga Minyak Sawit Global yang cenderung bergejala, dan menurun karena permintaan Minyak Nabati yang mungkin disebabkan oleh perang dagang dengan Uni Eropa yang ingin menghapus Biodiesel berbasis Minyak Sawit dari Indonesia.
Ditambah lagi dengan Pandemi COVID-19 Tahun lalu, tentu saja Industri sedang melambat, Sebuah studi yang belum ditinjau juga menghubungkan perlambatan Laju Deforestasi di Indonesia dengan penurunan perluasan perkebunan Kelapa Sawit, dan penurunan harganya. Studi yang dilakukan oleh para Peneliti dari Perusahaan Teknologi TheTreeMap, dan lembaga lainnya, menemukan bahwa Wilayah perkebunan dan hilangnya Hutan dengan harga Minyak Sawit.
Menurut studi penurunan harga 1% dikaitkan dengan penurunan 1,08% pada perkebunan baru, dan penurunan 0,68% hilangnya Hutan. Hasil itu menunjukkan Deforestasi yang mencapai puncak pada Tahun 2016, dan turun di bawah level sebelum 2004. Menyusul perlambatan pembangunan perkebunan baru dari puncaknya pada 2012, Mufthi Fathul Barri, Peneliti Forest Watch Indonesia (FWI), mengatakan Faktor lain yang berkontribusi pada penurunan Deforestasi adalah kemerosotan Ekonomi yang disebabkan oleh tindakan sebagai tanggapan terhadap Pandemi COVID-19.
Terganggunya kegiatan Ekonomi terlihat dari Produksi Kayu Hutan yang menurun, Pada Tahun 2019 Indonesia menghasilkan kayu dari 8,4 Juta Hektar hutan alam, dan pada Tahun 2020 luasnya 6,6 Juta hektar. Arief mengatakan Indonesia harus melanjutkan upaya untuk menurunkan penebangan Hutan, Penurunan Deforestasi adalah Kejadian baik yang harus dipertahankan bersama, dan mungkin Tahun depan El Nino akan kembali.
Dengan upaya Vaksinasi COVID-19, Indonesia melakukan pemulihan Ekonomi yang diantisipasi dapat memicu Aktivitas pembukaan hutan. Komitmen Pemerintah dalam mempertahankan laju Deforestasi serendah ini harus dilindungi, begitu pula Komitmen nol-deforestasi oleh Sektor Swasta. Grita Anindarini, Direktur Program di Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), mengatakan penurunan Deforestasi di Indonesia harus dipuji, tetapi Pemerintah tidak boleh puas dengan angka tersebut, dan Deforestasi berarti masih ada hutan yang hilang.
Sejak 2019 hasil mencapai 578.000 Hektar dari 1,4 Juta Hektar dalam waktu 2 Tahun, dan lahan yang digunduli hampir seluas Provinsi Jakarta. Belinda dari kementerian kehutanan mengatakan bahwa Pemerintah tidak mengejar target nol-deforestasi sebagai bagian dari iklim, atau Kontribusi yang ditentukan secara Nasional (NDC), di bawah Perjanjian Paris.
Dalam NDC dikatakan bahwa Indonesia masih memiliki ruang untuk Deforestasi, Perubahan penggunaan lahan yang mencakup Deforestasi, dan kebakaran hutan telah menyumbang sebagian besar. Di bawah NDC Indonesia, Pemerintah mengizinkan hingga 325.000 Hektar Deforestasi per tahun untuk mencapai tujuan pengurangan hasil pembakaran sambil menyisakan ruang untuk pembangunan Ekonomi.
Pada batas waktu 2030 untuk Perjanjian Paris, Indonesia berpotensi membuka 3,25 Juta Hektar Hutan Hujan, wilayah yang lebih luas dari Belgia. Laporan Tahun 2018 oleh LSM Rainforest Foundation Norway (RFN) menunjukkan bahwa tidak akan cukup untuk membatasi kenaikan Suhu Global rata-rata pada 1,5°C seperti yang disampaikan dalam Perjanjian Paris.
Annisa Rahmawati, seorang Advokat Lingkungan di Organisasi Kampanye yang berbasis di Amerika Serikat, Mighty Earth, memberitahukan target Deforestasi dan iklim yang lebih Ambisius oleh Pemerintah Indonesia. Saat sisa hasil pembakaran Global terus meningkat, dengan sisa yang terkait energi sudah pulih kembali ke tingkat sebelum COVID-19, di tengah kebangkitan Aktivitas Ekonomi, Annisa mengatakan bahkan menghentikan Deforestasi secara langsung mungkin tidak cukup, nol-deforestasi tidak lagi cukup mengingat kondisi iklim kita saat ini.
Para ahli mengatakan planet kita sudah memanas 1,2°C, dan sebentar lagi kita akan mencapai 1,5°C. Kita harus mulai melakukan penanaman Hutan dengan cara yang lebih baik dari sebelumnya, karena Semua hutan harus dilindungi apapun fungsinya, ditambah dengan pelestarian dan pemulihan semaksimal mungkin. Grita dari ICEL mengatakan pemulihan merupakan salah satu aspek yang masih harus ditempuh oleh Indonesia, Jumlah pemulihan masih sangat kecil, hanya 3.000 Hektar pada 2018-2019, dan 3.600 Hektar pada 2019-2020.
Pemerintah harus lebih percaya untuk mencapai pengurangan sisa pembakaran di sektor kehutanan, Pejabat Indonesia juga harus mempertimbangkan untuk meningkatkan target pengurangan pembakaran Hutan Negara menjadi 45%, dari sebelumnya yang hanya 41% dengan bantuan internasional. Pada tahun 2020 keputusan Pemerintah untuk tidak menggunakan angka yang lebih tinggi, dengan mengatakan bahwa mereka ingin fokus pada pertumbuhan Ekonomi.
Kritikus mengatakan langkah-langkah itu membatalkan perlindungan lingkungan, dan dapat menyebabkan Deforestasi yang lebih besar. Misalnya, Omnibus Law menghapus pasal dalam UU Kehutanan Tahun 1999 yang mewajibkan setidaknya 30% dari setiap Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Wilayah Pulau dipertahankan sebagai Kawasan Hutan.
Ambisi Pemerintah untuk membangun Jutaan Hektar Lahan pertanian di seluruh Indonesia di bawah Program Food Estate, juga telah memicu kekhawatiran tentang Deforestasi di masa depan. Studi yang dilakukan oleh LSM Madani, menunjukkan bahwa terdapat 1,57 Juta Hektar Hutan yang ditargetkan oleh Pemerintah untuk diubah menjadi lahan pertanian. Hampir sembilan per sepuluh dari Hutan itu berada di Provinsi Papua, salah satu daerah dengan keanekaragaman Makhluk Hidup paling banyak, dan rumah bagi sebagian besar Hutan Hujan Tropis yang tersisa di Indonesia.
Perbatasan terakhir dari Hutan Tropis utuh di Papua adalah di Kawasan kepentingan Program Food Estate, kata peneliti Madani Anggalia Putri. Dia mencatat bahwa Program Food Estate dibebaskan dari penundaan pembukaan Hutan Primer, dan Lahan Gambut seluas 1 Juta Hektar dari Area kepentingan Program di Papua. Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa prioritasnya adalah mendorong pertumbuhan Ekonomi, mungkin setelah itu lingkungan akan menjadi Prioritas, Inovasi, dan kemudian Hak Asasi Manusia.
Arief mengatakan Indonesia bisa dengan mudah berakhir seperti Brasil jika tidak hati-hati, apa yang telah dicapai Indonesia harus dipertahankan karena Potensi Deforestasi besar-besaran masih ada. Setelah terbukti Indonesia mampu memotong laju Deforestasi, dan Pemerintah tidak perlu takut. Target iklim Indonesia bisa lebih berani, mungkin lebih dari 41% pada 2030, karena untuk membatasi pemanasan Global sebesar 1,5 Derajat, harus mencapai nol-bersih pada tahun 2050.
Menurut Annisa, Pencapaian target yang ambisius itu tidak berarti Indonesia harus mengorbankan ekonominya, Misalnya Pemerintah bisa fokus memulihkan Jutaan Hektar Lahan Gambut, dan Hutan yang menurun. Kegiatan pemulihan dan pelestarian merupakan salah satu pekerjaan yang terbaik, dimana masyarakat dilibatkan untuk menjadi kunci keberhasilan, dan Sumber daya Hutan non-kayu serta Jasa Ekosistem juga melimpah di Indonesia, yang dapat dikelola tanpa merusak Hutan.