Pengadilan untuk Hambali (Encep Nurjaman), telah mencegah Biden menutup Guantanamo, Jaksa Militer Amerika Serikat Mendakwa Dalang Bom Bali itu untuk ditahan di fasilitas penahanan selama 14 Tahun sehari setelah Pelantikan Biden. Riduan Isamuddin diduga disiksa saat diinterogasi di tempat Pemeriksaan yang dikelola Badan Intelijen Pusat. Riduan Isamuddin akan dibawa ke Pengadilan di Fasilitas Penahanan tempat dia ditahan, saat Dakwa menunjukkan bahwa penutupan Penjara masih menghadapi tentangan keras di Kalangan Militer dan Intelijen Amerika Serikat.
Tahanan yang tersisa akan berada di bawah yurisprudensi Sipil, di mana bukti yang diperoleh dan Penyiksaan tidak dapat diterima. Pentagon menyetujui dakwaan Non-Kapital berupa Konspirasi, Pembunuhan, dan Terorisme terhadap Isamuddin dan dua Pelaku dari Malaysia atas bom Bali, yang merenggut 202 Korban Jiwa, dan serangan di Hotel JW Marriott, Jakarta pada Tahun 2003 yang menewaskan 12 orang dan150 orang luka-luka.
Di sini sudah jelas, Sehari setelah Pelantikan, “kata Mayor Korps Marinir, James Valentine, Kuasa Hukum Militer yang ditunjuk untuk Membela Isamuddin, Ini dilakukan dalam Keadaan Panik sebelum Pemerintahan baru bisa diselesaikan. Menteri Pertahanan, Lloyd Austin, mantan Jenderal dan Veteran Perang Afghanistan dan Irak, telah mengatakan dalam kesaksian Konfirmasi tertulis, bahwa dia akan menindaklanjuti Upaya.
Pertama oleh Presiden Barack Obama, dan sekarang oleh Presiden Joe Biden, untuk menutup Fasilitas Kontroversial itu, Obama berhasil mengurangi Populasi Guantanamo dengan menggunakan Dewan Peninjau Berkala yang dibentuk khusus untuk mengirim banyak tahanan kembali ke Negara asal mereka. Tetapi upayanya untuk menutup Penjara itu, sangat dihalangi oleh Demokrat dan Republik di Kongres.
Meskipun Pemerintah telah memilih 13 Lokasi yang dirahasiakan, untuk Para Tahanan akan ditahan, banyak Anggota Kongres memiliki ketakutan yang tidak Rasional untuk membiarkan Penjahat berbahaya masuk ke Daratan Amerika Serikat. Encep Nurjaman, dikenal dengan nama panggilan Hambali dan Isamuddin, telah didakwa untuk pertama kalinya pada Juni 2017, tetapi Penundaan terus-menerus terjadi untuk membawa dia ke Pengadilan.
Itu juga menunjukkan bahwa hanya Mekanisme yang bisa membuat penahanannya lebih sesuai bagi kelompok-kelompok Hak Asasi Manusia. Pada Akhir 2018, dua Agen FBI dan dua Jaksa Militer berada di Jakarta, untuk mengumpulkan Bukti kasus tersebut. Pada pertengahan 2019, Tim Pembela mengunjungi Kuala Lumpur dengan tujuan yang sama. Tetapi Otoritas kehakiman Militer dan Sipil terus memperdebatkan Dakwaan tersebut.
Pada April 2019, Jaksa Pentagon mengajukan kembali dakwaannya, termasuk Kejahatan Konspirasi, selain dakwaan Pembunuhan, Terorisme, Percobaan Pembunuhan, dan Perusakan Properti sebagai Kejahatan Perang. Selama ini, Di Situs hitam Central Intelligence Agency (CIA), Komisi Militer tidak berfungsi dengan baik karena Tantangan Hukum yang sebagian besar berpusat pada Perlakuan Brutal yang dialami banyak Tersangka selama Pengurungan mereka.
Cobaan 1.280 Hari untuk Isamuddin dengan Teknik Interogasi yang ditingkatkan dan dirinci dalam Laporan Pelaksanaan Tugas Pemilihan Badan tertinggi Amerika Serikat tahun 2014, Semua dicatat dalam Program Rendisi Rahasia CIA. Agen Intelijen Amerika dan Thailand menangkap Buronan itu pada Agustus 2003, setelah seorang Informan Rahasia yang menyamar, menemukan bahwa dia sering mengunjungi Masjid di Ibu Kota, Tepi Sungai Kuno Thailand, Ayutthaya, sebelah Utara Bangkok.
Kemudian Dia diterbangkan ke Pangkalan Samudra Hindia Amerika Serikat, di Diego Garcia dan dibawa ke Penjara di Gurun Yordania. Isamuddin dipindahkan ke Guantanamo pada September 2006, dan menjadi salah satu dari 780 Tersangka Teroris yang telah melewati Fasilitas Stasiun Angkatan Laut Amerika Serikat yang berbasis di Kuba. Hanya 40 orang Tahanan yang tersisa, dan Isamuddin adalah salah satu dari 14 Tahanan Bernilai tinggi yang ditahan di Penjara Khusus, termasuk Khalid Sheikh Mohammad, 56 Tahun, dan empat lainnya yang dituduh terlibat langsung dalam Serangan Teror, tetapi Kasus Hukuman Mati mereka telah terhenti di Fase Pra-Persidangan sejak mereka didakwa pada Mei 2012.
Satu-satunya Mantan Tahanan yang diadili di Amerika Serikat adalah Ahmed Ghailani, yang dijatuhi Hukuman Penjara seumur hidup di Pengadilan Federal New York pada 2009, karena perannya dalam pemboman Kedutaan Besar Amerika di Kenya dan Tanzania pada Tahun 1988. Dia ditahan di Penjara Supermax di Florence, Colorado, Rumah bagi Raja Narkoba Meksiko, Joaquin El Chapo Guzman, Pelaku bom di World Trade Center Tahun 1993.
Supermax juga menjadi Rumah bagi Ramzi Yousef dan Mohammad Salameh serta Pelaku bom Boston, Dzhokhar Tsarnaev. Narapidana Guantanamo yang sudah dihukum sejauh ini adalah Ali a-Bahlul, seorang Yaman berusia 51 tahun yang menjalani Hukuman seumur hidup atas Tuduhan Konspirasi dan hukuman lainnya pada Persidangan yang dibatalkan Tahun 2008. Sementara Arsitek pemboman Bali 2002, masih dalam ketidakpastian Hukum, Walaupun Indonesia telah menangkap dan menuntut Ratusan Militan Islam, termasuk Zulkarnaen, kelompok perencanaan bom Bali.
Pada 2008, Perwira satuan Penanggulangan Terorisme, Densus 88, Tito Karnavian, yang kemudian menjadi Kapolri dan kini menjadi Menteri Dalam Negeri, dan dua Perwira Senior Intelijen diizinkan untuk memeriksa Isamuddin. Selama pertemuan Guantanamo itu, dia dikatakan telah membuat beberapa Pengakuan tentang keterlibatannya dalam pemboman Natal Tahun 2000, yang didanai al-Qaeda, Pembantaian Bali Tahun 2002 dan Serangan Marriott.
Pada Agustus 2017, Dewan Peninjau Pemerintah Amerika Serikat mengatakan Hambali tetap menjadi ancaman bagi Keamanan Amerika, melihat perannya dalam Insiden Teroris terbilang besar, Tuduhan Amerika Serikat tidak mengaitkan Isamuddin dengan serangan 11 September, tetapi mengarah pada Kasus 159 turis asing yang tewas di Bali, Penargetan Jaringan Marriott milik Amerika dan Rencana yang gagal untuk membom kedutaan Amerika di Singapura.
Dia juga dituduh merencanakan serangan terhadap kedutaan besar Amerika di Bangkok pada Tahun 2000, Meskipun Wakil Presiden, Jusuf Kalla mengatakan kepada Direktur Intelijen Nasional Amerika Serikat, Dennis Blair, bahwa Pemerintah Indonesia menginginkan Isamuddin kembali ke Jakarta, hal itu dipandang untuk menghindari Konsumsi Publik. Polisi dan Jaksa Penuntut Indonesia selalu khawatir apakah hukumannya dapat dijamin dalam persidangan di Indonesia, mengingat Sistem Peradilan yang aneh dan sulitnya mengumpulkan Bukti yang kuat.
Seorang Saksi Kunci yang masih termasuk Militan Malaysia, dan terkait dengan al-Qaeda, Wan Min bin Wan Mat, 60 Tahun, Telah mengakui bahwa Isamuddin memberinya dana sebesar 418 Juta untuk membiayai pemboman di Bali. Mantan dosen Universitas itu dibebaskan dari Penjara pada Tahun 2005 setelah ditahan selama Tiga Tahun tanpa Pengadilan berdasarkan Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri. Dia sekarang Tinggal, di bawah Pengawasan, di Johor, di Malaysia Selatan.
Jaksa Penuntut telah mengatakan di masa lalu, bahwa Undang-Undang Terorisme Indonesia Tahun 2003 hanya dapat diterapkan kepada Isamuddin karena memfasilitasi Transfer Tambahan 700 Juta dari Pakistan ke Indonesia, untuk mendanai Pemboman Marriott Tahun 2003. Menurut Dokumen Pengadilan, Uang tersebut berasal dari Agen Al-Qaeda yang berbasis di Karachi. Ammar al-Baluchi, 43 Tahun, yang salah satu dari Top 14 Tahanan Guantanamo yang menghadapi Persidangan karena mengatur Pembiayaan Kasus 9/11. Dibimbing oleh Ramzi Yousef, yang diketahui bertindak sebagai Kurir Pemimpin al-Qaeda, Osama bin Laden, Ilmuwan Komputer, Kelahiran Kuwait.