Terpilihnya orang-orang Moderat untuk Memimpin Majelis Ulama Indonesia membuat Banyak Orang berharap bahwa Badan Ulama Muslim yang sekarang akan lebih Fokus terhadap Persatuan Nasional. Harapan Untuk Kepemimpinan Yang Baru, Masyarakat Hanya Inginkan Keadilan Sosial. MUI yang merupakan Otoritas Tertinggi Ajaran Islam di Indonesia dan beranggotakan Perwakilan dari seluruh Ormas Islam di Tanah Air. Dalam beberapa Tahun Terakhir ini, MUI dikritik karena tidak bersikap Tegas kepada sebagian anggotanya yang telah berhubungan dengan Kelompok Intoleran Radikalisme.
Pada akhir Bulan lalu, Wakil Presiden Indonesia Ma’ruf Amin, Mengumumkan Pengurus Baru dan menunjuk Miftachul Akhyar sebagai ketuanya. Akhyar adalah Ulama tertinggi di Nahdlatul Ulama, Kelompok Islam terbesar di Indonesia dengan 80 Juta Anggota. Amin sendiri menjadi Ketua Dewan Penasehat, Dia secara Aktif terlibat dalam Pemilihan Ketua Baru dan Tokoh-Tokoh Moderat Penting lainnya.
Beberapa Pengamat melihat itu sebagai Campur Tangan Negara untuk mengembalikan Dewan ke Tangan yang Aman dan Melawan Gerakan Radikal yang berkembang di Indonesia. Demi mempersatukan seluruh Ulama untuk memerangi Radikalisme dan memperlihatkan Islam sebagai Agama yang Damai, Itu salah satu Alasan Presiden Joko Widodo memilihnya sebagai Wakil Presiden.
Bagi mereka yang terkait dengan Persaudaraan Alumni 212 dan Ikatan Kelompok Islam termasuk Front Pembela Islam, Akan dikeluarkan dari Kepemimpinan Dewan. Pada 2 Desember 2016, 212 Berunjuk Rasa dengan 700.000 Peserta untuk Melawan Gubernur DKI Jakarta dengan Tuduhan melakukan Penistaan Agama, Unjuk Rasa itu tercatat sebagai Unjuk Rasa Muslim terbesar di Indonesia.
Gerakan 212 telah menjadi Organisasi Politik Raksasa dengan salah satu Tokoh utamanya yang juga Mantan Anggota Dewan MUI. 212 juga sering menggunakan Nama Dewan untuk menarik Partisipasi dalam Aksi Unjuk Rasa, Mereka telah mempromosikan bentuk Islam yang Intoleran. Dengan disingkirkannya sosok seperti itu dari Kepemimpinan MUI, Para Moderat yang baru terpilih diharapkan bisa Memberantas, atau setidaknya Meredam Kelompok yang muncul dengan Perdebatan dari sejumlah Golongan Agama.
Awal yang Baik dibuat oleh Akhyar, yang meminta Para Administrator Baru untuk menjadi Cahaya Penuntun bagi orang Indonesia dan Bekerja untuk kebaikan bersama dalam kemitraan dengan Pemerintah. Dia mengatakan, Dunia telah mengakui Indonesia sebagai Negara Mayoritas Muslim, Tapi yang paling Penting bukanlah Angka melainkan Kontribusi Kemanusiaan yang diberikan Muslim Indonesia kepada Dunia.
Dia berharap MUI dapat membantu Memimpin Upaya itu, Akhyar menekankan betapa pentingnya Peran Ulama dalam Masyarakat, Khususnya melalui Dakwah. Khotbah telah digunakan sebagai Senjata oleh Para Pemimpin Agama, Sekarang Khotbah harus Merangkul jangan Memukul, Mencintai bukan Bersaing, Mendidik bukan Membidik, Membina bukan Menghina, Menawarkan Solusi bukan mencari Simpati, Membela bukan Menindas.
Teguran itu tepat waktu untuk mengingatkan beberapa Ulama yang telah menggunakan khotbahnya untuk Menghina Pemerintah atau Agama lain, mempromosikan Pelanggaran Hukum dan Memancing Kemarahan terhadap Kelompok Minoritas. Akhyar mengatakan Kepada sesama Ulama untuk Menghindari keterlibatan dalam Politik, Karena itu dapat menciptakan Perpecahan Antara Umat.
Mungkin yang menjadi Perhatian Non-Muslim adalah Pendapat yang menimbulkan Masalah bagi Pemeluk Agama lain dalam hal membedakan Golongan dan Kekerasan Agama. Salah satu yang menyakiti Umat Kristen adalah Perintah yang telah dikeluarkan pada Desember 2016 yang melarang Umat Islam menggunakan Simbol Non-Islam. Meskipun tidak secara Tegas disebutkan, Beberapa Kelompok Muslim telah menyerbu Pusat Perbelanjaan dan Toko yang memajang Dekorasi Natal.
Beberapa Ulama memperluas hal itu dengan melarang Muslim untuk mengucapkan Selamat Natal kepada Tetangga Kristen Mereka. Majelis Ulama Indonesia dibentuk oleh Pemerintah pada Tahun 1975 dengan Misi membina Islam sesuai dengan Konsep Pancasila Indonesia dan mendorong Partisipasi Ulama dalam Pembangunan Nasional serta Membina Kerukunan antar Agama.
Selama Era Suharto, Misi itu membantu Pemerintah Melawan Komunisme dan berfungsi sebagai Payung bagi Kelompok-Kelompok Islam yang berpartisipasi dalam Politik. Namun sejak jatuhnya Suharto pada Tahun 1998, Organisasi tersebut bergeser ke Visi Peran yang lebih aktif dalam melindungi kepentingan Muslim dan menjadi lebih Kritis terhadap Pemerintah, MUI pun semakin Mandiri pada Era Pasca-Soeharto.
Pemilu baru-baru ini membawa Niat Presiden Joko Widodo selama Masa Jabatan keduanya untuk mengembalikan MUI ke Misi aslinya dalam menjaga Persatuan antar Agama, Organisasi tersebut telah mengeluarkan Pendapat Baik seperti menentang Korupsi dan Kebakaran Hutan. Kepemimpinan Baru MUI harus tetap Teguh dan tidak merugikan Hubungan antar Agama dengan membuat Kebijakan tentang Kebencian terhadap Agama lain, itu harus memastikan Indonesia mengikuti bentuk Islam yang lebih menyesuaikan dan Islam yang Damai.