Sistem Pemerintahan di Indonesia telah mengalami banyaknya perubahan, termasuk pada masa setelah Presiden Indonesia Ir. Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Berikut ini adalah Sistem Pemerintahan Indonesia Era Orde Lama saat Soekarno menjabat sebagai Presiden.
Pada 12 Agustus 1945, Jepang segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia melalui Marsekal Terauchi dan menginginkannya pada 24 Agustus 1945. Soekarno, Moh. Hatta dan Radjiman Wediodiningrat kembali ke Tanah Air, Sultan Syahrir langsung mendesak Soekarno untuk segera memproklamasikan kemerdekaan, namun Soekarno tetap berhati-hati dalam bertindak.
Pada 14 Agustus 1945, Jepang resmi menyerah kepada Sekutu di kapal USS Mussori. Pada 16 Agustus 1945, para golongan muda membawa Soekarno beserta Fatmawati dan Moh. Hatta ke Rengasdengklok untuk mempercepat membacakan teks Proklamasi yang telah disusun oleh Soekarno, Moh. Hatta dab Achmad Soebardjo di rumah Djiaw Kie Siong.
Setelah adanya kesepakatan antara Soekarno, Moh. Hatta dan Achmad Soebardjo dengan para golongan muda untuk membacakan teks Proklamasi di lapangan IKADA (sekarang menjadi lapangan Monas) atau di rumah Bung Karno. Lalu dipilihlah di rumah Bung Karno karena di lapangan IKADA sudah tersebarnya kabar bahwa akan ada sebuah acara yang akan diselenggarakan sehingga para tentara Jepang sudah bersiaga untuk menghindari kericuhan antara para penonton saat teks Proklamasi dibacakan.
Teks Proklamasi yang sudah dipersiapkan saat berada di Rengasdengklok serta bendera Merah Putih yang sudah dibuat oleh Fatmawati telah berkibar di Rengasdengklok sebagai persiapan untuk Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 16 Agustus 1945. Namun, karena tak ada kabar dari Jakarta, maka Jusuf Kunto dikirim ke Jakarta untuk berunding dengan para golongan muda di sana.
Saat Jusuf Kunto sampai di Jakarta, ia hanya menemui Wikana dan Achmad Soebardjo. Jusuf Kunto langsung kembali ke Rengasdengklok bersama Achmad Soebardjo untuk menjemput Soekarno, Fatmawati dan Moh. Hatta yang akan membawa mereka pergi ke Jakarta untuk segera merumuskan teks Proklamasi.
Bung Karno beserta yang lainnya telah sampai di Jakarta pada pukul 22.00 WIB. Mereka kebingungan untuk mencari tempat merumuskan naskah Proklamasi, lalu para golongan muda langsung menghubungi Laksamana Maeda Tadashi untuk meminta izin rumahnya sebagai tempat merumuskan naskah Proklamasi.
Maeda Tadashi yang merupakan Kepala Perwakilan Kaigun (Angkatan Laut Kekaisaran Jepang) telah menjamin keamanan selama rapat berlangsung karena rumah Maeda Tadashi merupakan extra territorial dan harus dihormati oleh Rikugun (Angkatan Darat Kekaisaran Jepang/Kempetai) maka rumah Maeda dianggap aman.
Pada 17 Agustus 1945, semua para tokoh berkumpul dan merumuskan teks Proklamasi. Sayuti Melik yang ditunjuk oleh Bung Karno untuk mengetik naksah Proklamasi dengan mesin tik yang dipinjamkan oleh Perwira Angkatan Laut Nazi Jerman Mayor Kandelar kepada Satzuki Mishima pembantu Maeda Tadashi yang diperintahkan untuk mencari mesin tik dan pergi ke kantor Kepala Perwakilan Angkatan Laut Jerman.
Setelah teks Proklamasi sudah diketik dengan atas nama Bangsa Indonesia, Bung Karno yang didampingi oleh Moh. Hatta langsung mengumandangkan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang disiarkan melalui radio dari kantor Domei (sekarang Kantor Berita Antara) dan menyebarnya berita secara luas di daerah Jakarta serta dimulailah yang disebut dengan Revolusi Nasional.
Orde Lama 1945-1965

Indonesia 1945
Mendaratnya Belanda yang diwakili oleh NICA
Berdasarkan Civil Affairs Agreement, pada 23 Agustus 1945 Inggris bersama tentara Belanda mendarat di Sabang, Aceh. Pada 15 September 1945, tentara Inggris sebagai wakil Sekutu tiba di Jakarta dengan didampingi oleh Dr. Charles Van Der Plas sebagai wakil Belanda pada Sekutu.
Kedatangan tentara Sekutu yang ditunggangi NICA (Netherland Indies Civil Administration – Pemerintahan Sipil Hindia Belanda) dipimpin langsung oleh Dr. Hubertus J Van Mook, ia dipersiapkan untuk membuka perundingan atas dasar pidato siaran radio Ratu Wilhelmina tahun 1942 (statkundige concepti – konsepsi kenegaraan).
Namun, Dr. Hubertus J van Mook mengumumkan bahwa ia tidak akan berbicara dengan Soekarno yang dianggapnya telah bekerja sama dengan Jepang. Pidato Ratu Wilhemina itu menegaskan bahwa di kemudian hari akan dibentuk sebuah persemakmuran yang di antara anggotanya adalah Kerajaan Belanda dan Hindia Belanda, di bawah pimpinan Ratu Belanda.
Pertempuran melawan NICA dan Sekutu
Saat masuknya Sekutu dan NICA pada saat Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya, banyak pertempuran yang terjadi disetiap daerah bersatu untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pertempuran yang terjadi di antaranya adalah :
- Pertempuran Lima Hari di Semarang pada 15 Oktober 1945 – 19 Oktober 1945 (melawan Jepang).
- Peristiwa 10 November di Surabaya pada 10 November 1945 yang dipimpin oleh Kolonel (TKR) Sungkono.
- Pertempuran Bojong Kokosan di Bojong Kokosan, Sukabumi pada 9 Desember 1945 yang dipimpin Letkol (TKR) Eddie Sukardi.
- Pertempuran Medan Area di Medan dan sekitarnya pada 10 Desember 1945 – 10 Agustus 1946 yang dipimpin oleh Kolonel (TKR) Achmad Tahir.
- Palagan Ambarawa di Ambarawa, Semarang pada 12 Desember 1945 – 15 Desember 1945 yang dipimpin Kolonel (TKR) Sudirman.
- Pertempuran Lengkong di Lengkong, Serpong pada 25 Januari 1946 yang dipimpin oleh Mayor (TKR) Daan Mogot.
- Bandung Lautan Api di Bandung pada 23 Maret 1946 atas perintah dari Kolonel (TRI) A.H. Nasution.
- Pertempuran Selat Bali di Selat Bali pada April 1946 yang dipimpin oleh Kapten Laut (TRI) Markadi.
- Pertempuran Margarana di Margarana, Tabanan, Bali pada 20 November 1946 yang dipimpin oleh Letkol (TRI) I Gusti Ngurah Rai.
- Pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan pada 11 Desember 1946 – 10 Februari 1947, akibat dari perburuan terhadap Wolter Monginsidi.
- Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang pada 1 Januari 1947 – 5 Januari 1947 yang dipimpin oleh Kolonel (TRI) Bambang Utojo.
- Pertempuran Laut Cirebon di Cirebon pada 7 Januari 1947 yang dipimpin oleh Kapten Laut (TRI) Samadikun.
- Pertempuran Laut Sibolga di Sibolga pada 12 Mei 1947 yang dipimpin oleh Letnan II Laut (TRI) Oswald Siahaan.
- Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947 – 5 Agustus 1947.
- Pembantaian Rawagede di Rawagede, Karawang pada 9 Desember 1947, akibat dari perburuan terhadap Kapten (TNI) Lukas Kustarjo.
- Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948 – 20 Desember 1948.
- Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta pada 1 Maret 1949 yang dipimpin oleh Letkol (TNI) Suharto.
- Serangan Umum Surakarta di Surakarta pada 7 Agustus 1949 – 10 Agustus 1949 yang dipimpin oleh Letkol (TNI) Slamet Rijadi.
Perubahan Sistem Pemerintahan
Pernyataan Dr. Hubertus J Van Mook untuk tidak berunding dengan Soekarno adalah salah satu pemicu perubahan sistem pemerintahan dari Presidensial menjadi Parlementer. Soekarno sebagai Kepala Pemerintahan Republik (Kabinet Presidensial) diganti oleh Mr. Sutan Syahrir yang seorang sosialis dianggap sebagai figur yang tepat untuk dijadikan ujung tombak diplomatik, bertepatan dengan naik daunnya Partai Sosialis di Belanda.
Saat terjadinya perubahan besar dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia (dari sistem Presidensial menjadi sistem Parlementer), hal ini memungkinkan perundingan antara pihak Republik Indonesia dan Belanda. Dalam pandangan Sekutu dan Belanda, Sutan Syahrir dinilai sebagai seorang moderat, seorang intelektual dan seorang yang telah berperang selama pemerintahan Jepang.
Ketika Sutan Syahrir mengumumkan kabinetnya, pada 15 November 1945, Letnan Gubernur Jendral Van Mook mengirim kawat kepada Menteri Urusan Tanah Jajahan (Minister of Overseas Territories, Overzeese Gebiedsdelen) J.H.A. Logemann yang berkantor di Den Haag : “Mereka sendiri (Sutan Syahrir beserta Kabinetnya) dan bukan Soekarno yang bertanggung jawab atas jalannya keadaan“.
Kemudian Logemann berbicara pada siaran radio BBC (radio Britania Raya) tanggal 28 November 1945 : “Mereka bukan kolaborator seperti Soekarno, presiden mereka, kita tidak akan pernah dapat berurusan dengan Dr. Soekarno, kita akan berunding dengan Sutan Syahrir“.
Pada 6 Maret 1946 kepada Van Mook, Logemann bahkan menulis bahwa Soekarno adalah persona non grata (tidak boleh hadir disuatu tempat atau negara). Pihak Republik Indonesia memiliki alasan politis untuk mengubah sistem pemerintahan dari Presidensil menjadi Parlementer.
Karena seminggu sebelum perubahan pemerintahan Republik Indonesia, Den Haag mengumumkan dasar rencananya, namun Soekarno menolak hal ini, sebaliknya Sutan Syahrir mengumumkan pada tanggal 4 Desember 1945 bahwa pemerintahnya menerima tawaran ini dengan syarat pengakuan Belanda atas Republik Indonesia.
Indonesia 1946
Ibu Kota pindah ke Yogyakarta
Menjelang berakhirnya tahun 1945 situasi keamanan ibu kota Jakarta (Batavia) makin memburuk dengan terjadinya saling serang antara kelompok pro-kemerdekaan dan kelompok pro-Belanda. Ketua Komisi Nasional Jakarta, Mr. Mohammad Roem mendapat serangan fisik. Demikian pula, Perdana Menteri Syahrir dan Menteri Penerangan Mr. Amir Syarifuddin juga hampir dibunuh oleh simpatisan Belanda (NICA).
Setelah insiden itu terjadi, pada 1 Januari 1946 Presiden Soekarno memberikan perintah rahasia kepada Balai Yasa Manggarai untuk segera menyiapkan rangkaian kereta api untuk menyelamatkan para petinggi negara yang hampir terbunuh oleh Belanda.
Pada 3 Januari 1946, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta beserta beberapa menteri/staf dan keluarganya pergi meninggalkan Jakarta untuk memindahkan ibu kota ke Yogyakarta. Perdana Menteri Sutan Syahrir beserta para kabinetnya tetap berada di Jakarta dalam tugasnya untuk bernegosiasi dengan Belanda. Perpindahan itu dilakukan menggunakan kereta api berjadwal khusus yang disebut sebagai KLB (Kereta Luar Biasa).
Perjalanan KLB ini menggunakan lokomotif uap nomor C2849 bertipe C28 buatan pabrik Henschel, Jerman, dengan rangkaian kereta inspeksi yang biasa digunakan untuk Gubernur Jenderal Hindia Belanda, yang disediakan oleh Djawatan Kereta Api (DKA). Keberangkatan itu terdiri dari 8 gerbong kereta, mencakup 1 gerbong bagasi, 2 gerbong penumpang kelas 1 dan 2, 1 gerbong makan, 1 gerbong tidur kelas 1, 1 gerbong tidur kelas 2, 1 gerbong inspeksi untuk Presiden dan1 gerbong inspeksi untuk Wakil Presiden.
Diplomasi Sutan Syahrir
Pada 10 Februari 1946, pemerintah Belanda mendeklarasikan tentang politiknya dan menawarkan mendiskusikannya dengan Sutan Syahrir beserta para Kabinetnya. Hal itu bertujuan untuk mendirikan persemakmuran Indonesia, yang terdiri dari daerah-daerah dengan bermacam-macam tingkat pemerintahan sendiri dan untuk menciptakan warga negara Indonesia bagi semua orang yang dilahirkan di sana.
Masalah dalam negeri akan dihadapi dengan suatu parlemen yang dipilih secara demokratis dan orang-orang Indonesia akan menjadi mayoritasnya. Kementerian akan disesuaikan dengan parlemen tetapi akan dikepalai oleh wakil Kerajaan. Daerah-daerah yang bermacam-macam di Indonesia yang dihubungkan bersama-sama dalam suatu susunan federasi dan persemakmuran akan menjadi rekan (partner) dalam Kerajaan Belanda, serta akan mendukung permohonan keanggotaan Indonesia dalam organisasi PBB.
Pada bulan April dan Mei 1946, Sutan Syahrir memimpin delegasi kecil Indonesia yang pergi berunding dengan pemerintah Belanda di Hoge Veluwe. Sutan Syahrir ia menjelaskan bahwa titik tolak perundingan haruslah berupa pengakuan atas Republik sebagai negara berdaulat. Atas dasar itu Indonesia baru mau berhubungan erat dengan Kerajaan Belanda dan akan bekerja sama dalam segala bidang. Karena itu Pemerintah Belanda menawarkan suatu kompromi yaitu: “mau mengakui Republik sebagai salah satu unit negara federasi yang akan dibentuk sesuai dengan Deklarasi 10 Februari“.
Pada 17 Juni 1946, Sutan Syahrir mengirimkan surat rahasia kepada van Mook, menganjurkan bahwa mungkin perundingan yang sesungguhnya dapat dimulai kembali. Dalam surat rahasia ini, ada penerimaan yang samar-samar tentang gagasan van Mook mengenai masa peralihan sebelum kemerdekaan penuh diberikan kepada Indonesia.
Surat rahasia itu juga telah dibahas beberapa kali dan semua tokoh politik utama Republik mengetahui tentang kemungkinan Indonesia menyetujui federasi Indonesia – bekas Hindia Belanda dibagi menjadi berbagai negara merdeka dengan kemungkinan hanya Republik sebagai bagian paling penting.
Pada 17 Juni 1946, setelah Sutan Syahrir mengirimkan surat rahasianya kepada van Mook, surat itu pun dibocorkan kepada pers oleh surat kabar di Negeri Belanda. Pada 24 Juni 1946, van Mook mengirim kawat ke Den Haag : “menurut sumber-sumber yang dapat dipercaya, usul balasan (yakni surat Syahrir) tidak disetujui oleh Soekarno dan ketika dia bertemu dengannya, dia marah. Tidak jelas, apa arah yang akan diambil oleh amarah itu“. Pada saat itu, surat kabar Indonesia menuntut untuk menjelaskan desas-desus tentang Sutan Syahrir yang bersedia menerima pengakuan de facto Republik Indonesia terbatas pada Jawa dan Sumatra.
Penculikan Perdana Menteri Sutan Syahrir
Pada 27 Juni 1946, dalam Pidato Peringatan Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW, Moh. Hatta menjelaskan isi usulan balasan di depan rakyat banyak di alun-alun utama Yogyakarta yang dihadiri oleh Soekarno dan para pimpinan politik. Dalam pidatonya, Moh. Hatta menyatakan dukungannya kepada Sutan Syahrir, namun menurut sebuah analisis, pernyataan yang diberikan Moh. Hatta terhadap surat itu, menyebabkan kudeta dan penculikan terhadap Sutan Syahrir.
Pada malam hari itu, telah terjadi peristiwa penculikan terhadap Perdana Menteri Sutan Syahrir, ia dianggap sebagai “pengkhianat yang menjual Tanah Airnya”. Sutan Syahrir diculik di Surakarta, ketika ia berhenti dalam perjalanan politik menelusuri Jawa. Kemudian ia dibawa ke Paras (desa dekat Boyolali, di rumah peristirahatan Pracimoharjo, peninggalan Sunan Pakubuwono X) dan ditahan dalam pengawasan komandan batalyon setempat.
Pada malam tanggal 28 Juni 1946, Soekarno berpidato di radio Yogyakarta. Dalam pidatonya : “Berhubung dengan keadaan di dalam negeri yang membahayakan keamanan negara dan perjuangan kemerdekaan kita, saya, Presiden Republik Indonesia, dengan persetujuan Kabinet dan sidangnya pada tanggal 28 Juni 1946, untuk sementara mengambil alih semua kekuasaan pemerintah“.
Selama kudeta itu berlangsung, Soekarno tetap mempertahankan kekuasaan yang luas ditangannya sendiri. Pada 3 Juli 1946, Sutan Syahrir dibebaskan dari penculikan. Lalu, pada 14 Agustus 1946, Sutan Syahrir diberi wewenang kembali untuk membentuk kabinetnya lagi.
Pada 2 Oktober 1946, saat Sutan Syahrir kembali menjadi Perdana Menteri, lalu ia berkomentar, “Kedudukan saya di kabinet ketiga diperlemah dibandingkan dengan kabinet kedua dan pertama. Dalam kabinet ketiga saya harus berkompromi dengan Partai Nasional Indonesia dan Masyumi… Saya harus memasukkan orang seperti Gani dan Maramis lewat Soekarno; saya harus menanyakan pendapatnya dengan siapa saya membentuk kabinet.”
Konferensi Malino
Pada 15 Juli 1946 – 25 Juli 1945, suatu krisis telah terjadi dalam pemerintahan Republik Indonesia, keadaan ini dimanfaatkan oleh pihak Belanda yang telah mengusai bagian Timur Indonesia. Pada saat itu telah diadakan konferensi wakil-wakil daerah di kota Malino, Sulawesi Selatan, di bawah perintah Dr. Hubertus J Van Mook dan meminta seluruh organisasi di Indonesia masuk federasi yang dibagi menjadi 4 bagian yaitu Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Timur Raya.
Indonesia 1946-1947
Pembantaian Wasterling
Pembantaian Westerling adalah sebutan untuk peristiwa pembunuhan ribuan rakyat sipil di Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh pasukan Belanda Depot Speciale Troepen pimpinan Raymond Pierre Paul Westerling. Peristiwa ini terjadi pada bulan Desember 1946 – Februari 1947 selama operasi militer Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan).
Pembantaian di Sulawesi Selatan yang menjadi korban keganasan tentara Belanda hingga kini masih kurang jelas. Pada ahun 1947, delegasi Republik Indonesia menyampaikan kepada Dewan Keamanan PBB bahwa korban pembantaian yang dilakukan oleh Kapten Raymond Westerling sejak bulan Desember 1946 di Sulawesi Selatan mencapai 40.000 jiwa.
Pemeriksaan Pemerintah Belanda tahun 1969 memperkirakan sekitar 3.000 rakyat Sulawesi tewas dibantai oleh Pasukan Khusus pimpinan Westerling, sedangkan Westerling sendiri mengatakan, bahwa korban akibat aksi yang dilakukan oleh pasukannya “hanya” 600 orang.
Perbuatan Westerling beserta pasukan khususnya dapat lolos dari tuntutan pelanggaran HAM Pengadilan Belanda karena sebenarnya aksi terornya yang dinamakan contra-guerilla itu memperoleh izin dari Letnan Jenderal Spoor dan Wakil Gubernur Jenderal Dr. Hubertus Johannes van Mook. Jadi yang sebenarnya bertanggungjawab atas pembantaian rakyat Sulawesi Selatan adalah Pemerintah dan Angkatan Perang Belanda.
Perjanjian Linggarjati
Pada bulan Agustus 1947, pemerintah Belanda melakukan usaha lain untuk memecah halangan dengan memerintahkan 3 orang Komisi Jendral datang ke Jawa untuk membantu Van Mook dalam perundingan baru dengan Sutan Syahrir dan para kabinetnya. Konferensi tersebut diadakan pada bulan Oktober dan November di bawah pimpinan yang netral seorang komisi khusus Inggris, Lord Killearn.
Konferensi tersebut dilakukan di bukit Linggarjati, Jawa Barat. Setelah mengalami tekanan berat (terutama Inggris) dari luar negeri, dicapailah suatu persetujuan yang disepakati pada 15 November 1946. Kesepakatan itu berisi pokok-pokok sebagai berikut :
- Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa dan Madura. Belanda harus meninggalkan wilayah de facto paling lambat 1 Januari 1949.
- Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat yang salah satu bagiannya adalah Republik Indonesia.
- Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia – Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.
Untuk ini Kalimantan dan Timur Raya akan menjadi komponennya. Berdirilah sebuah Majelis Konstituante yang terdiri dari wakil-wakil yang dipilih secara demokratis dan bagian-bagian komponen lain. Indonesia Serikat pada gilirannya menjadi bagian Uni Indonesia-Belanda bersama dengan Belanda, Suriname dan Curasao.
Hal tersebut akan berpengaruh untuk memajukan kepentingan bersama dalam hubungan luar negeri, pertahanan, keuangan dan masalah ekonomi serta kebudayaan. Indonesia Serikat akan mengajukan diri sebagai anggota PBB. Akhirnya setiap perselisihan yang timbul dari persetujuan ini akan diselesaikan lewat arbitrase.
Pada 25 Maret 1947, hasil perjanjian Linggarjati ditandatangani di Batavia. Partai Masyumi menentang hasil perjanjian tersebut, banyak unsur perjuang Republik Indonesia yang tak dapat menerima pemerintah Belanda merupakan kekuasaan berdaulat di seluruh Indonesia. Dengan seringnya pecah kekacauan, maka pada praktiknya perjanjian tersebut sangat sulit sekali untuk dilaksanakan.
Proklamasi Negara Pasundan
Usaha Belanda tidak berakhir sampai di Negara Indonesia Timur. 2 bulan setelah perjanjian Linggarjati, Belanda berhasil membujuk Ketua Partai Rakyat Pasundan, Soeria Kartalegawa untuk memproklamasikan Negara Pasundan pada tanggal 4 Mei 1947. Secara militer negara baru ini sangat lemah, ia benar benar sangat tergantung pada Belanda, tebukti ia baru eksis ketika Belanda melakukan Agresi dan kekuatan Republik Indonesia hengkang dari Jawa Barat.
Setelah Negara Pasundan memproklamasikan negaranya pada 4 Mei 1947, Belanda sudah merencanakan bahwa akan menyerang kota-kota yang dikuasai oleh Republik Indonesia dalam waktu 2 minggu dan untuk menguasai seluruh wilaya Republik Indonesia dalam waktu 6 bulan.
Belanda sangat memahami bahwa untuk memelihara suatu pasukan bersenjata bersekitar 100.000 serdadu di Jawa yang sebagian besarnya merupakan pasukan yang sudah tak aktif. Hal itu pun merupakan pemborosan keuangan yang serius dan Belanda tidak mungkin dipikul oleh perekenomian negeri Belanda yang hancur akibat Perang Dunia II. Oleh karena itu untuk mempertahankan pasukan itu, Belanda memerlukan komoditas dari Jawa (khususnya gula) dan Sumatra (khususnya minyak dan karet).
Agresi Militer Belanda I
Pada 20 Juli 1947, Gubernur Jendral Ilham Ard mengadakan konferensi pers di istana dan mengumumkan kepada para wartawan tentang dimulainya Akhis Polisionil Belanda pertama.Pada malam harinya, Belanda melancarkan serangannya di beberapa daerah Jawa Timur. Kemudian Belanda berhasil menerobos daerah-daerah lainnya seperti di Sumatra, Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Serangan tentara Belanda ini memfokuskan kepada pelabuhan, perkebunan dan pertambangan yang terdapat di daerah kekuasaan Republik Indonesia dan yang telah mereka kuasai yaitu daerah Sumatra Timur dengan perkebunan tembakaunya, Jawa Tengah dengan seluruh pantainya dan Jawa Timur dengan wilayah perkebunan tebu serta pabrik-pabrik gulanya.
Pemerintah Republik Indonesia secara resmi mengadukan agresi militer yang dilakukan oleh Belanda ke PBB, karena agresi militer tersebut dinilai telah melanggar suatu perjanjian Internasional yaitu Persetujuan Linggarjati. Belanda ternyata tidak memperhitungkan reaksi keras dari dunia internasional, termasuk Inggris yang tidak lagi menyetujui penyelesaian secara militer.
Perjanjian Renville
Atas permintaan India dan Australia, pada 31 Juli 1947 masalah Agresi Militer yang dilancarkan Belanda dimasukkan ke dalam agenda Dewan Keamanan PBB. PBB langsung merespons dengan mengeluarkan resolusi tertanggal 1 Agustus 1947 yang isinya menyerukan agar konflik bersenjata dihentikan. PBB mengakui eksistensi RI dengan menyebut nama “Indonesia”, bukan “Netherlands Indies” atau “Hindia Belanda” dalam setiap keputusan resminya.
Pada 17 Agustus 1947, Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda menerima Resolusi Dewan Keamanan untuk melakukan gencatan senjata dan pada 25 Agustus 1947 Dewan Keamanan membentuk suatu komite yang akan menjadi penengah konflik antara Indonesia dan Belanda.
Komite ini sebagai Committee of Good Offices for Indonesia (Komite Jasa Baik Untuk Indonesia) atau lebih dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN) yang beranggotakan tiga negara yaitu Australia yang dipilih oleh Indonesia, Belgia yang dipilih oleh Belanda dan Amerika Serikat sebagai pihak yang netral. Australia diwakili oleh Richard C. Kirby, Belgia diwakili oleh Paul van Zeeland dan Amerika Serikat diwakili oleh Dr. Frank Graham.
Gencatan senjata pun akhirnya tercipta, namun genjatan senjata itu hanya bertahan sementara. Belanda kembali mengingkari janjinya dalam perjanjian yang disepakati berikutnya dengan menggencarkan operasi militer yang lebih besar pada 19 Desember 1948. Operasi militer itu dikenal dengan Agresi Militer Belanda II.
Indonesia 1948-1949
Agresi Militer Belanda II
Pada 19 Desember 1948, WTM Beel menyatakan bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Renville. Penyerbuan terhadap semua wilayah Republik Indoneisa di Jawa dan Sumatra, termasuk serangan terhadap Ibu kota RI, Yogyakarta yang dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II telah dimulai. Belanda konsisten dengan menamakan agresi militer ini sebagai “Aksi Polisional”.
Penyerangan terhadap Ibu kota Republik Indonesia diawali dengan pengeboman atas lapangan terbang Maguwo di pagi hari pada pukul 05.45 lapangan terbang Maguwo dihujani bom dan tembakan mitraliur oleh 5 pesawat Mustang dan 9 pesawat Kittyhawk. Pertahanan TNI di Maguwo hanya terdiri dari 150 orang pasukan pertahanan pangkalan udara dengan persenjataan yang sangat minim, yaitu beberapa senapan dan satu senapan anti pesawat 12,7.
Senjata berat sedang dalam keadaan rusak. Pertahanan pangkalan hanya diperkuat dengan 1 kompi TNI bersenjata lengkap. Pada pukul 06.45, 15 pesawat Dakota menerjunkan pasukan KST Belanda di atas Maguwo. Pertempuran merebut Maguwo hanya berlangsung sekitar 25 menit. Pukul 7.10 bandara Maguwo telah jatuh ke tangan pasukan Kapten Eekhout. Tercatat bahwa penyerangan itu menewaskan 128 tentara Republik Indonesia dan tidak satu pun tentara Belanda yang tewas.
Pada pukul 11.00, seluruh kekuatan Grup Tempur M sebanyak 2.600 orang -termasuk 2 batalyon, 1.900 orang dari Brigade T- beserta persenjataan beratnya di bawah pimpinan Kolonel D.R.A. van Langen telah terkumpul di Maguwo dan mulai bergerak ke Yogyakarta.
Serangan terhadap kota Yogyakarta telah dimulai dengan pengeboman serta menerjunkan pasukan payung di kota. Setelah mendengar berita bahwa tentara Belanda telah memulai serangannya, Panglima Besar Soedirman mengeluarkan perintah kilat yang dibacakan di radio tanggal 19 Desember 1948 pukul 08.00.
Setelah penyerangan di ibu kota, Soekarno dan Moh. Hatta yang harus menetap di Ibu Kota membuat surat kuasa yang ditujukan kepada Mr Syafruddin Prawinegara, Menteri Kemakmuran yang sedang berada di Bukittinggi. Kemudian Soekarno dan Moh. Hatta mengirim kawat kepada Syafruddin Prawinegara bahwa ia diangkat sementara untuk membentu satu kabinet dan mengambil alih Pemerintahan Pusat.
Pemerintahan Syafruddin ini dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Selain itu, untuk menjaga kemungkinan bahwa Syafruddin tidak berhasil membentuk pemerintahan di Sumatra, juga dibuat surat untuk Duta Besar RI untuk India, Dr. Sudarsono serta staf Kedutaan RI, L. N. Palar dan Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis yang sedang berada di New Delhi.
Pada 22 Desember 1948, Kolonel D.R.A. van Langen memerintahkan para pemimpin RI untuk berangkat ke Pelabuhan Udara Yogyakarta untuk diterbangkan tanpa tujuan yang jelas. Selama di perjalanan dengan menggunakan pesawat pembom B-25 milik angkatan udara Belanda, tidak satupun yang tahu arah tujuan pesawat, pilot mengetahui arah setelah membuka surat perintah di dalam pesawat, akan tetapi tidak disampaikan kepada para pemimpin RI.
Setelah mendarat di Pelabuhan Udara Kampung Dul Pangkalpinang (sekarang Bandara Depati Amir) para pemimpin republik baru mengetahui, bahwa mereka diasingkan ke Pulau Bangka, akan tetapi rombongan Presiden Soekarno, Sutan Sjahrir, dan Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim terus diterbangkan lagi menuju Medan, Sumatra Utara, untuk kemudian diasingkan ke Brastagi dan Parapat
Kemudia Drs. Moh. Hatta (Wakil Presiden), RS. Soerjadarma (Kepala Staf Angkatan Udara), MR. Assaat (Ketua KNIP) dan MR. AG. Pringgodigdo (Sekretaris Negara) diturunkan di pelabuhan udara Kampung Dul Pangkalpinang dan terus dibawa ke Bukit Menumbing Mentok dengan dikawal truk bermuatan tentara Belanda dan berada dalam pengawalan pasukan khusus Belanda, Corps Speciale Troepen.
Soedirman meninggalkan Yogyakarta untuk memimpin gerilya dari luar kota. Perjalanan bergerilya selama 8 bulan ditempuh kurang lebih 1000 km di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tidak jarang Soedirman harus ditandu atau digendong karena dalam keadaan sakit keras. Setelah berpindah-pindah dari beberapa desa rombongan Soedirman kembali ke Yogyakarta pada tanggal 10 Juli 1949.
Serangan 1 Maret 1949
Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah serangan yang dilaksanakan pada 1 Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta secara besar-besaran yang direncanakan dan dipersiapkan oleh jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III dengan mengikutsertakan beberapa pimpinan pemerintah sipil setempat berdasarkan instruksi dari Panglima Divisi III Kol. Bambang Sugeng.
Serangan itu untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI masih ada dan cukup kuat, sehingga dengan demikian dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB dengan tujuan utama untuk mematahkan moral pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan.
Perjanjian Roem Royen
Perjanjian Roem-Roijen (juga disebut Perjanjian Roem-Van Roijen) adalah sebuah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang diselenggarakan pada 14 April 1949 yang ditandatangani pada 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta. Nama perjanjian ini diambil dari kedua pemimpin delegasi, Mohammad Roem dan Herman van Roijen.
Maksud pertemuan ini adalah untuk menyelesaikan beberapa masalah mengenai kemerdekaan Indonesia sebelum Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun yang sama. Perjanjian ini sangat sensitif sehingga memerlukan kehadiran Bung Hatta dari pengasingan di Bangka dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta untuk mempertegas sikap Sri Sultan HB IX terhadap Pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta.
Berikut hasil dari Perjanjian Roem Royen :
- Angakatan bersenjata Indonesia akan menghentikan semua aktivitas gerilya
- Pemerintahan Republik Indonesia akan menghadiri Kenferensi Meja Bundar
- Pemerintahan Republik Indonesia dikembalikan ke Yogyakarta
- Angkatan bersenjata Belanda akan menghentikan semua operasi militer dan membebaskan semua tawanan perang.
Pada 22 Juni 1949 di pertemuan selanjutnya, mengasilkan kesepakatan :
- Kedaulan akan diserahkan kepada Indonesia secara utuh dan tanpa syarat sesuai Perjanjian Renville pada 1948
- Belanda dan Indonesia akan mendirikan sebuah persekutuan dengan dasar sukarela dan persamaan hak
- Hindia Belanda akan menyerahkan semua hak, kekuasaan dan kewajiban kepada Indonesia.
Serangan Umum Surakarta
Serangan Umum Surakarta atau disebut dengan Serangan Umum Empat Hari yang berlangsung pada 7 Agustus 1949 – 10 Agustus 1949 secara gerilya oleh para pejuang, pelajar, dan mahasiswa. Pelajar dan mahasiswa yang berjuang tersebut kemudian dikenal sebagai tentara pelajar. Mereka berhasil membumihanguskan dan menduduki markas-maskas Belanda di Solo dan sekitarnya.
Mereka yang melakukan serangan bergabung dalam Detasemen II Brigade 17 Surakarta yang dipimpin Mayor Achmadi untuk menyerang markas Belanda. Serangan dilakukan dari 4 penjuru kota Solo. Rayon I dari Polokarto dipimpin Suhendro, Rayon II dipimpin Sumarto. Sementara itu Rayon III dengan komandan Prakosa, Rayon IV dikomandani A Latif serta Rayon Kota dipimpin Hartono.
Menjelang pertengahan pertempuran, Slamet Riyadi dengan pasukan Brigade V/Panembahan Senopati turut ikut serta juga dan menjadi tokoh kunci dalam menentukan jalannya pertempuran. Kegagalan Tentara Kerajaan Belanda mempertahan Kota Solo menggoyahkan keyakinan Parlemen Belanda atas kinerja tentaranya sehingga memaksa Perdana Menteri Drees terpaksa mengakomodasi tuntutan delegasi Indonesia sebagai syarat sebelum mereka bersedia menghadiri Konferensi Meja Bundar
Konferensi Meja Bundar
Konferensi Meja Bundar (KMB) atau dalam bahasa Belanda disebut (Nederlands-Indonesische rondetafelconferentie) adalah sebuah pertemuan yang dilaksanakan pada 23 Agustus 1949 – 2 November 1949 di Den Haag, Belanda antara perwakilan Republik Indonesia, Belanda, dan BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg) yang mewakili berbagai negara yang diciptakan Belanda di Kepulauan Indonesia.
Sebelum KMB, telah berlangsung tiga pertemuan tingkat tinggi antara Belanda dan Indonesia yaitu Perjanjian Linggarjati (1947), Perjanjian Renville (1948) dan Perjanjian Roem-Royen (1949). Konferensi ini menghasilkan dengan kesediaan Belanda untuk menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat.
Isi Perjanjian Konferensi Meja Bundar :
- Kerajaan Belanda menyerahkan kedualatan atas Indonesia yang sepenuhnya kepada Republik Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat lagi dan tidak dapat dicabut dan karena itu mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat
- Republik indonesia Serikat menerima kedaulatan itu atas dasar ketentuan-ketentuan pada Konstitusinya, rancangan konstitusi telah dipermaklumkan kepada Kerajaan Belanda
- Kedaulatan akan diserahkan selambat-lambatnya pada tanggal 30 Desember 1949.
Kemudian keterangan tambahan mengenai hasil berikut adalah :
- Serah terima kedaulatan atas wilayah Hindia Belanda dari pemerintah kolonial Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, kecuali Papua bagian barat. Indonesia ingin agar semua bekas daerah Hindia Belanda menjadi daerah Indonesia, sedangkan Belanda ingin menjadikan Papua bagian barat negara terpisah karena perbedaan etnis. Konferensi ditutup tanpa keputusan mengenai hal ini. Karena itu pasal 2 menyebutkan bahwa Papua bagian barat bukan bagian dari serah terima, dan bahwa masalah ini akan diselesaikan dalam waktu satu tahun.
- Dibentuknya sebuah persekutuan Belanda-Indonesia, dengan pemimpin kerajaan Belanda sebagai kepala negara
- Pengambilalihan utang Hindia Belanda oleh Republik Indonesia Serikat.
Parlemen Belanda memperdebatkan kesepakatan tersebut, dan Majelis Tinggi dan Rendah meratifikasinya pada tanggal 21 Desember oleh mayoritas dua pertiga yang dibutuhkan. Terlepas dari kritik khususnya mengenai asumsi utang pemerintah Belanda dan status Papua Barat yang belum terselesaikan, legislatif Indonesia, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), meratifikasi kesepakatan tersebut pada tanggal 14 Desember 1949. Kedaulatan dipindahkan kepada Republik Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.
Pengakuan Kemerdekaan Indonesia oleh Belanda
Pengakuan tanggal kemerdekaan Indonesia oleh Belanda atau Pengakuan Kedaulatan Indonesia adalah peristiwa di mana Belanda akhirnya mengakui bahwa kemerdekaan Indonesia adalah tanggal 17 Agustus 1945 sesuai dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia, bukan tanggal 27 Desember 1949 saat soevereiniteitsoverdracht (penyerahan kedaulatan) ditandatangani di Istana Dam, Amsterdam.
Pengakuan ini baru dilakukan pada 16 Agustus 2005, sehari sebelum peringatan 60 tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia, oleh Menlu Belanda Bernard Rudolf Bot dalam pidato resminya di Gedung Deplu. Pada kesempatan itu, Pemerintah Indonesia diwakili oleh Menlu Hassan Wirajuda. Keesokan harinya, Bot juga menghadiri Upacara Kenegaraan Peringatan Hari Ulang Tahun ke-60 Kemerdekaan RI di Istana Negara, Jakarta.
Pada 4 September 2008, juga untuk pertama kalinya dalam sejarah, seorang Perdana Menteri Belanda, Jan Peter Balkenende, menghadiri Peringatan HUT Kemerdekaan RI. Balkenende menghadiri resepsi diplomatik HUT Kemerdekaan RI ke-63 yang digelar oleh KBRI Belanda di Wisma Duta, Den Haag. Kehadirannya didampingi oleh para menteri utama Kabinet Balkenende IV, antara lain Menteri Luar Negeri Maxime Jacques Marcel Verhagen, Menteri Hukum Ernst Hirsch Ballin, Menteri Pertahanan Eimert van Middelkoop, dan para pejabat tinggi kementerian luar negeri, parlemen, serta para mantan Duta Besar Belanda untuk Indonesia.
Indonesia 1950-1959
Konstituante
Pada tahun 1955, Indonesia baru melaksanakan pemilihan umum nasional yang pertama. Pada bulan September, rakyat memilih wakil untuk DPR dan pada bulan Desember pemilih kembali memilih wakil-wakil yang lebih banyak lagi yang akan bekerja di sebuah institusi yang dikenal dengan Konstituante.
Setelah dipilih pada tahun 1955, sidang dimulai pada bulan November 1956 di Bandung, Jawa Barat. Perdebatan, permusyawaratan, dan penulisan draf-draf undang-undang dasar berlangsung selama dua setengah tahun. Perdebatan isu dasar negara (terutama antara golongan yang mendukung Islam sebagai dasar negara dan golongan yang mendukung Pancasila) terjadi sangat rumit tuk dipertimbangkan kembali.
Konstituante diberikan tugas untuk membuat undang-undang dasar yang baru sesuai amanat UUDS 1950. Pada 1950, UUDS (Undang-Undang Sementara) diberlakukan di bawah pemerintahan Soekarno. Hal ini berdampak pada penerapan model demokrasi parlementer murni (Demokrasi Liberal).
Akan tetapi, Demokrasi Liberal yang didukung oleh banyak partai seperti, MASYUMI dan PNI) yang justru mengarah timbulnya ketidakstabilan politik. Pada 1959, telah munculnya Demokrasi Terpimpin dengan kabinet yang semuanya dipimpin oleh Ir. Soekarno. Kemudian pada tahun 1959, Konstituante belum juga bisa membuat konstitusi baru. Oleh karna itu, Soekarno menyampaikan konsepsi tentang Demokrasi Terpimpin pada DPR hasil pemilu yang berisi ide untuk kembali pada UUD 1945.
UUDS 1950 telah ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia dalam Sidang Pertama Babak ke-3 Rapat ke-71 DPR RIS pada tanggal 14 Agustus 1950 di Jakarta.
Konstitusi ini hanya bersifat sementara karena menunggu terpilihnya Konstituante hasil pemilihan umum yang akan menyusun konstitusi baru. Pemilihan Umum 1955 berhasil memilih Konstituante secara demokratis, namun Konstituante gagal membentuk konstitusi baru sampai pada tanggal 5 Juli 1959, Soekarno mengeluarkan Dekret Presiden 5 Juli 1959 yang berisikan kembali berlakunya UUD 1945.
Susunan Kabinet di Indonesia Pada Masa Demokrasi Liberal
1. Kabinet Natsir (Masyumi) (6 September 1950 – 21 Maret 1951)
Masyumi merupakan organisasi yang dibentuk oleh Jepang dalam upaya mereka untuk mengendalikan umat islam di Indonesia. Partai Masyumi dibentuk dengan suatu tujuan, yaitu untuk menegakakan kedaulatan negara dan agama islam di Republik Indonesia.
Program kerja :
- Mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilihan umum untuk memilih Dewan Konstituante
- Menyempurnakan susunan pemerintahan dan membentuk kelengkapan negara
- Menggiatkan usaha mencapai keamanan dan ketenteraman
- Meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat
- Menyempurnakan organisasi angkatan perang
- Memperjuangkan penyelesaian soal Irian Barat
2. Kabinet Sukiman-Suwirjo (Masyumi-PNI) (26 April 1951 – 3 April 1952)
Kabinet ini merupakan kabinet yang dibentuk dengan adanya koalisi antara Masyumi dan PNI. Partai Nasional Indonesia (PNI) adalah partai yang salah satu pendirinya yaitu Soekarno. Tujuan dibentuknya partai ini adalah untuk membentuk ideologi negara menjadi “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme”.
Program kerja :
- Menjalankan tindakan-tindakan yang tegas sebagai negara hukum untuk menjamin keamanan dan ketenteraman serta menyempurnakan organisasi alat-alat kekuasaan negara
- Membuat dan melaksanakan rencana kemakmuran nasional dalam jangka pendek untuk meningkatkan kehidupan sosial dan perekonomian rakyat serta memperbaharui hukum agraria sesuai dengan kepentingan petani
- Mempercepat usaha penempatan mantan pejuang dalam lapangan pembangunan
- Mempercepat dan menyelesaikan persiapan pemilihan umum untuk membentuk dewan konstituante dan menyelenggarakan pemilihan umum dalam waktu yang singkat serta mempercepat terlaksananya otonomi daerah
- Menyiapkan undang-undang tentang pengakuan serikat buruh, perjanjian kerja sama (collective arbeidsovereenkomst), penetapan upah minimum, dan penyelesaian pertikaian perburuhan
- Menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif serta menuju perdamaian dunia, menyelenggarakan hubungan antara Indonesia dengan Belanda yang sebelumnya berdasarkan asas unie-statuut menjadi hubungan berdasarkan perjanjian internasional biasa, mempercepat peninjauan kembali persetujuan hasil Konferensi Meja Bundar, serta meniadakan perjanjian-perjanjian yang pada kenyataannya merugikan rakyat dan negara
- Memasukkan wilayah Irian Barat ke dalam wilayah Republik Indonesia dalam waktu sesingkat-singkatnya
3. Kabinet Wilopo (PNI) (3 April 1952 – 3 Juni 1953)
Program kerja :
- Mempersiapkan dan melaksanakan pemilihan umum
- Berupaya untuk mengembalikan Irian Barat agar kembali menjadi wilayah Republik Indonesia
- Meningkatkan keamanan dan kesejahteraan
- Memperbarui bidang pendidikan dan pengajaran
- Melaksanakan politik luar negeri bebas aktif
4. Kabinet Ali Sastromidjojo I (PNI-NU) (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)
Kabinet ini merupakan kabinet yang dibentuk dengan adanya koalisi antara PNI dan NU. Nahdatul ‘Ulama (NU) adalah sebuah organisasi islam terbesar di Indonesia. Organisasi tersebut dibentuk juga menjadi salah satu organisasi yang bergerak dibidang sosial, budaya atau keagamaan yang lahir pada masa penjajahan dan merupakan bentuk perlawanan terhadap penjajah.
Program kerja :
- Menumpas pemberontakan DI/TII di berbagai daerah
- Meningkatkan keamanan dan kemakmuran serta melaksanakan pemilihan umum
- Memperjuangkan kembalinya Irian Barat kepada RI
- Menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika
- Pelaksanaan politik bebas – aktif dan peninjauan kembali persetujuan KMB
- Penyelesaian pertikaian politik
5. Kabinet Burhanuddin Harapah (Masyumi) (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)
Program kerja :
- Mengembalikan kewibawaan moral pemerintah, dalam hal ini kepercayaan Angkatan Darat dan masyarakat
- Akan dilaksanakan pemilihan umum, desentralisasi, memecahkan masalah inflasi, dan pemberantasan korupsi
- Perjuangan mengembalikan Irian Barat
6. Kabinet Ali Sastromidjojo II (PNI-Masyumi-NU) (20 Maret 1956 – 4 Maret 1957)
Program kerja :
- Menyelesaikan pembatasan hasil KMB
- Menyelesaikan masalah Irian Barat
- Pembentukan provinsi Irian Barat
- Menjalankan politik luar negeri bebas aktif
- Pembentukan daerah – daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya anggota- anggota DPRD
- Mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai
- Menyehatkan keseimbangan keuangan negara
- Mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional
7. Kabinet Djuanda (9 April 1957 – 5 Juli 1959)
Program kerja :
- Membentuk Dewan Nasional
- Normalisasi keadaan RI
- Melanjutkan pembatalan KMB
- Memperjuangkan Irian Barat kembali ke RI
- Mempercepat pembangunan
Dekret Presiden 5 Juli 1959
Kata dekrit berasal dari bahasa latin decemere yang berarti mengakhiri atau memutuskan. Kata dekrit, kemudian digunakan untuk menunjukkan adanya perintah dari kepala negara atau kepala pemerintahan untuk mengakhiri atau memutuskan sesuatu yang terkait dengan sistem pemerintahan yang berjalan. Dekret Presiden 5 Juli 1959, ini adalah dekret yang mengakhiri masa parlementer dan digunakannya kembali UUD 1945. Masa sesudah ini lazim disebut masa Demokrasi Terpimpin.
Isi Dekret :
- Kembali berlakunya UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950
- Pembubaran Konstituante
- Pembentukan MPRS dan DPAS
Berikut beberapa alasan Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden :
- Kegagalan konstituante untuk membuat UUD baru meskipun sudah berkali-kali melakukan sidang. Padahal, UUD sagat dibutuhkan sebagai pijakan hukum yang penting dalam melaksanakan pemerintahan.
- Situasi politik dan ketidakstabilan keamanan dalam negara semakin memburuk.
- Konflik antarpartai yang terus-menerus terjadi sangat menggangu stabilitas nasional.
- Para politisi partai yang saling berbeda pendapat sering bersikap menghalalkan segala cara agar tujuan kelompok / partai tercapai.
- UUD sementara 1950 dengan penerapan Demokrasi Liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia.
- Terjadi sejumlah pemberontakan di berbagai wilayah Indonesia yang semakin mengarah kepada gerakan separatis.
Hasil dikeluarkannya Dekrit Presiden :
- Perintah untuk kembali ke UUD 1945 telah memberikan pedoman yang jelas bagi kelangsungan negara.
- Menyelamatkan negara dari perpecahan dan krisis politik yang berkepanjangan.
- Merintis pembentukan lembaga-lembaga tinggi negara (MPRS dan DPAS) yang selama masa Demokrasi Liberal tertunda pembentukannya.
Indonesia 1959-1965
Demokrasi Terpimpin
Pada masa Republik Indonesia (1959 – 1965) adalah masa saat Indonesia menjalankan sistem pemerintahan Demokrasi Terpimpin. Demokrasi Terpimpin adalah sebuah sistem demokrasi suatu negara yang bersifat seluruh keputusan serta pemikiran berpusat kepada pemimpin negara. Konsep sistem Demokrasi Terpimpin pertama kali diumumkan oleh Presiden Soekarno dalam pembukaan sidang konstituante pada tanggal 10 November 1956.
Berikut ini alasan Presiden Soekarno menjalankan sistem Demokrasi Terpimpin :
- Dari segi keamanan nasional : Banyaknya gerakan separatis pada masa demokrasi liberal, menyebabkan ketidakstabilan negara.
- Dari segi perekonomian : Sering terjadinya pergantian kabinet pada masa demokrasi liberal menyebabkan program-program yang dirancang oleh kabinet tidak dapat dijalankan secara utuh, sehingga pembangunan ekonomi tersendat.
- Dari segi politik : Konstituante gagal dalam menyusun UUD baru untuk menggantikan UUDS 1950.
Masa Demokrasi Terpimpin yang dicetuskan oleh Presiden Soekarno diawali oleh anjuran Soekarno agar Undang-Undang yang digunakan untuk menggantikan UUDS 1950 adalah UUD 1945, namun usulan itu menimbulkan pro dan kontra di kalangan anggota konstituante. Sebagai tindak lanjut usulannya, diadakan pemungutan suara yang diikuti oleh seluruh anggota konstituante. Pemungutan suara ini dilakukan dalam rangka mengatasi konflik yang timbul dari pro kontra akan usulan Presiden Soekarno tersebut.
Hasil pemungutan suara menunjukan bahwa :
- 269 orang setuju untuk kembali ke UUD 1945
- 119 orang tidak setuju untuk kembali ke UUD 1945
Karna gagalnya Konstituante dalam melaksanakan tugasnya serta adanya peristiwa politik dan keamanan yang mengguncangkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia pada bulan Juni 1959. Demi keselamatan negara berdasarkan staatsnoodrecht (hukum keadaan bahaya bagi negara) pada tanggal 5 Juli 1959 pukul 17.00, Presiden Soekarno telah mengeluarkan dekret yang disebut dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan diumumkan dalam upacara resmi di Istana Merdeka.
Berikut adalah isi dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959 :

Partai Komunis Indonesia
Partai Komunis Indonesia (PKI) menyambut “Demokrasi Terpimpin” Soekarno dengan hangat dan anggapan bahwa PKI mempunyai mandat untuk mengakomodasi persekutuan konsepsi yang sedang marak di Indonesia kala itu, yaitu antara ideologi nasionalisme, agama (Islam) dan komunisme yang dinamakan NASAKOM.
Pada tahun 1962, perebutan Irian Barat secara militer oleh Indonesia dalam Operasi Trikora mendapat dukungan penuh dari kepemimpinan PKI, mereka juga mendukung penekanan terhadap perlawanan para penduduk adat yang tidak menghendaki integrasi dengan Republik Indonesia.
Keterlibatan Amerika Serikat
Pada era pemerintahan Demokrasi Terpimpin antara tahun 1959 dan tahun 1965, Amerika Serikat memberikan 64 juta dollar dalam bentuk bantuan militer untuk jenderal-jenderal militer Indonesia. Pada sebelum akhir tahun 1960, Amerika Serikat telah melengkapi 43 batalyon angkatan bersenjata Indonesia. Tiap tahun AS melatih perwira-perwira militer sayap kanan.
Di antara tahun 1956 dan 1959, lebih dari 200 perwira tingkatan tinggi telah dilatih di AS dan ratusan perwira angkatan rendah terlatih setiap tahunnya. Kepala Badan untuk Pembangunan Internasional di Amerika pernah sekali mengatakan bahwa bantuan AS tentu saja bukan untuk mendukung Soekarno dan bahwa AS telah melatih sejumlah besar perwira-perwira angkatan bersenjata dan orang sipil yang mau membentuk kesatuan militer untuk membuat Indonesia sebuah “Negara Bebas”.
Dampak sistem Demokrasi Terpimpin terhadap Politik
Sistem pemerintahan Demokrasi Terpimpin diwarnai kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum borjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani Indonesia. Kolaborasi ini tetap gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak Indonesia pada saat itu.
Pendapatan ekspor Indonesia menurun, cadangan devisa menurun, inflasi terus menaik dan korupsi kaum birokrat dan militer menjadi wabah sehingga situasi politik Indonesia menjadi sangat labil dan memicu banyaknya demonstrasi di seluruh Indonesia, terutama dari kalangan buruh, petani, dan mahasiswa.
Kesimpulan
Seiring berjalannya waktu, Indonesia telah mengalami banyaknya pro dan kontra khususnya pada bidan Politik. Hal tersebut membuat suatu perubahan pada parlemen yang sangat mementingkan kesejahteraan rakyat. Namun, itu tak berdampak baik kepada seluruh rakyat Indonesia. Oleh karna itu, Presiden Soekarno mengambil langkah tegas untuk membentuk sistem pemerintahan yang seluruh keputusannya hanya bisa diputuskan oleh Presiden Soekarno pada saat itu.
Betapa sedihnya ketika para pejuang yang telah mengorbangkan seluruh tumpah darahnya demi merebut kemerdekaan Indonesia, namun setelah kemerdekaan masih ada permasalahan yang harus dihadapi. Hargailah para pejuang dengan semangat ’45 yang takkan pernah mati untuk tetap berjuang membangun negeri tercinta kita Indonesia.
Itulah pembahasan kami tentang Sistem Pemerintahan Indonesia Era Orde Lama. Jika artikel ini berguna untuk kalian para pecinta sejarah silahkan kalian share dan jika kalian ingin memberikan saran kepada kami silahkan tinggalkan di kolum komentar di bawah ini agar kami terus memberikan informasi yang terbaik dari yang terbaik.